Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965–1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a. Periode 15 November 1965 – 26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966 – 2 Mei 1966. c. Periode 2 Mei 1966 – 16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966 – 19 November 1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik. b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950–1956)
Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI (UU No. 7/1950, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta.
Masa awal kemerdekaan (1945–1949)
Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat kelengkapan dewan yang bersifat tetap, dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara berfungsi untuk melakukan telaahan terhadap laporan hasil pemeriksaan BPK RI.[1] Diarsipkan 2021-10-05 di Wayback Machine. Oleh karena itu, diharapkan keberadaan BAKN akan berkontribusi positif dalam pelaksaanaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara serta menjaga kredibilitas atau kepercayaan publik/masyarakat DPR RI khususnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan dewan.
Sekretariat Jenderal DPR RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR.
DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Tim Asistensi.
Sekretaris Jenderal DPR RI saat ini dijabat oleh Indra Iskandar.[5]
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
kota jakarta pusat, dki jakarta Sekretariat Jenderal DPR RI, Bagian Hubungan Masyarakat dan Pengelolaan Museum
Masa DPR hasil Dekret Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (1959–1965)
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 miliar rupiah APBN dari 44 miliar yang diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
Masa reformasi (1999–sekarang)
Banyaknya skandal korupsi, penyuapan dan kasus pelecehan seksual merupakan bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mantan ketua MPR RI 1999–2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang-undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR. Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut keabsahan undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga mencerminkan bahwa produk hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat.
DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap malas dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang diberikan. Hal lain yang sudah menjadi rahasia umum adalah banyaknya anggota yang "bolos" dalam sidang paripurna, atau sekadar "menitip absen", sehingga seolah-olah hadir, namun kenyataannya tidak. Kalaupun hadir, sebagian oknum anggota ternyata tidur saat sidang, main game, atau melakukan tindakan lain selain mengikuti proses rapat paripurna.
Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.
Syarat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menurut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, syarat calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:
DPR mempunyai fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden saja.
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas, dan hak menyatakan pendapat.
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak angket adalah hak DPR menjelaskan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak imunitas adalah kekebalan hukum di mana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
Masa Orde Baru (1966–1999)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966–1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut:
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai "tukang stempel" kebijakan pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan pendukung pemerintah. [butuh rujukan]
Masa Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
Badan legislatif pada masa Republik Indonesia Serikat terbagi menjadi dua majelis, yaitu Senat yang beranggotakan 32 orang, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 146 orang (di mana 49 orang adalah perwakilan Republik Indonesia-Yogyakarta).[2] Hak yang dimiliki DPR adalah hak budget, inisiatif, dan amendemen, serta wewenang untuk menyusun RUU bersama pemerintah.[2] Selain itu DPR juga memiliki hak bertanya, hak interpelasi dan hak angket, namun tidak memiliki hak untuk menjatuhkan kabinet.[2] Dalam masa kerja yang amat singkat itu, kurang lebih setahun, berhasil diselesaikan 7 buah undang-undang, yang di antaranya adalah UU No. 7 tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; diajukan 16 mosi, dan 1 interpelasi, baik oleh Senat maupun DPR.[2]
Hak menyatakan pendapat
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
Anggota DPR mempunyai hak:
Anggota DPR mempunyai kewajiban:
Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktik dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR.
Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR. Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik. Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Fraksi mempunyai sekretariat. Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.[3]
Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.[4]
Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Badan Musyawarah (disingkat Bamus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang. Saat ini, DPR memiliki 11 komisi dengan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.